5.2. While Reading

I. Teks
Banjir Jakarta: Cerminan Budaya Teknologi Indonesia?
Penulis: Anto Mohsin
- Kenapa Jakarta kerap dilanda banjir? Hal ini dapat dimengerti jika kita melihat hubungan antara masyarakat dan teknologi. Menurut Wiebe E. Bijker, seorang ilmuwan Belanda, teknologi yang berkembang di suatu masyarakat dibentuk oleh nilai-nilai budaya masyarakat tersebut. Sebaliknya budaya suatu masyarakat juga terbentuk oleh teknologi yang dibangun. Kedua hal ini erat kaitannya sehingga mereka saling memengaruhi satu sama lain. Bijker menawarkan konsep budaya teknologi (technological culture) untuk memahami hal ini.
- Sebagai contoh, kita dapat melihat dan membandingkan sistem manajemen air di dua tempat. Kota New Orleans di Amerika Serikat memiliki sistem teknologi bendungan (levees) yang cukup kompleks tapi tidak dapat mencegah kota tersebut dari banjir ketika dihantam Badai Katrina tahun 2005. Sedangkan Belanda yang sebagian besar berada di bawah permukaan laut bisa tetap kering.
- Di New Orleans, pembangunan infrastrukturnya menekankan mitigasi banjir, banjir diantisipasi kehadirannya dan untuk menanganinya ada badan pemerintah seperti Federal Emergency Management Agency (FEMA) dan perusahaan asuransi. Sedangkan di Belanda masyarakatnya kapok dengan banjir besar yang menelan banyak korban di tahun 1953. Karena tujuan yang berbeda, maka penerapan teknologi di kedua negara pun berbeda.
- Nilai-nilai masyarakat di kedua negara juga memengaruhi perkembangan teknologinya. Di Amerika Serikat, US Army Corps of Engineers (USACE) sangat dominan dan berperan besar dalam merencanakan dan membangun teknologi pencegah banjir. Insinyur-insinyur USACE menghitung dan menentukan sendiri hal-hal teknis seperti kekuatan, bentuk, dan letak bendungan. Mereka melakukannya tanpa masukan penduduk setempat sehingga faktor lainnya seperti dampak bendungan terhadap lingkungan sekitar tidak mendapat perhatian serius. Sedangkan di Belanda, partisipasi masyarakatnya cukup besar di mana publik dan politisi beserta organisasi Rijkswaterstaat bersama-sama membahas bentuk teknologi apa yang paling cocok untuk mencegah banjir. Hal-hal teknis seperti kekuatan bendungan pun dijadikan undang-undang yang mengikat setelah diperdebatkan di parlemen. Sehingga jika infrastruktur dibuat melanggar spesifikasi, yang bertanggung jawab dapat diseret ke pengadilan.
Bertindak Setelah Terjadi
- Bagaimana di Indonesia? Sudah lazim terjadi di negeri ini, orang ramai bertindak setelah kejadian buruk terjadi. Seperti halnya banjir melanda Jakarta belakangan ini. Padahal air bah sudah merendam ibukota beberapa kali. Banyak yang tahu Jakarta rawan banjir di antaranya karena kondisi alam dan letak geografisnya. Jakarta yang terbangun di dataran rendah endapan deposit dialiri banyak sungai. Curah air hujan yang besar di musim hujan membuat sungai-sungai yang menyempit meluap karena tidak dapat menampung debit air yang mengalir. Hal ini diperparah oleh sistem drainase yang tidak handal. Jakarta yang cekung dan berlapis beton pun akhirnya kebanjiran.
- Melihat kenyataan ini, bencana banjir yang terjadi di Jakarta sebenarnya merupakan hasil konstruksi sosial masyakarakat sendiri. Kita yang membangun Jakarta menjadi seperti sekarang. Oleh karena itu, bencana banjir tidaklah tepat dikatakan sebagai bencana alam atau sebuah peristiwa yang luar biasa. Harus diakui, kita sendiri yang menciptakan bencana banjir menjadi suatu kejadian yang biasa atau normal.
- Seharusnya status kerawanan banjir tersebut mampu memaksa warga dan Pemprov[1] Jakarta bersama membangun sistem penanggulangan banjir yang terpadu. Sayangnya belum terjadi walau banyak individu yang sudah menawarkan berbagai inovasi dan solusi baik dalam bentuk sosial, lingkungan, maupun teknologi. Biasanya ketika air banjir surut, menurun pula minat masyarakat menanggulangi banjir. Kita juga sangat toleran melihat korupsi anggaran proyek infrastruktur. Dan kebanyakan warga Jakarta belum semangat menuntut pemerintah untuk menomorsatukan kepentingan umum dan pelayanan publik. Ini diperparah oleh sikap pemerintah yang abai terhadap kepentingan ini karena merasa tidak perlu memerhatikannya sampai ketika banjir tiba.
- Hasilnya budaya teknologi masyarakat kita mencerminkan nilai-nilai yang tersebut di atas: tidak memiliki perencanaan yang matang, memaklumi penyalahgunaan uang negara, dan tidak peduli kepentingan bersama. Dalam hal ini maka solusi teknologi secanggih apa pun tidak akan dapat menanggulangi banjir, macet, polusi, dan masalah-masalah Jakarta lainnya. Kecuali jika kita bertekad mengembangkan nilai-nilai yang baik seperti memprioritaskan kepentingan umum, menegakkan peraturan dan hukum, mendidik warga untuk peduli pada kebersihan kota, dan bertekad menjadikan Jakarta menjadi kota yang layak huni bagi semua bukan hanya untuk segelintir warganya saja.
Penulis: Assistant Professor, Northwestern University in Qatar
Sumber: Suara Pembaruan Edisi 22 Januari 2013.
Banjir Jakarta: Cerminan Budaya Teknologi Indonesia? by Anto Mohsin. All rights reserved. Used by permission.
Keterangan:
- Pemprov singkatan dari Pemerintah Provinsi.↵
II. Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini.
- Penulis membandingkan penanganan terhadap banjir yang berbeda dari negara Amerika Serikat (contohnya, New Orleans) dan Belanda. Menurut penulis apa yang sangat membedakan cara-cara kedua negara ini dalam menangani banjir?
- Ada lima penyebab banjir di Jakarta yang tidak disebutkan di video di pra-bacaan yang dapat Anda temukan di artikel ini. Sebutkan lima penyebab itu.
- Menurut penulis bencana banjir di Jakarta disebabkan oleh ulah manusia. Mengapa dia berpendapat demikian? Jelaskan.
- Mengapa teknologi yang canggih pun menurut penulis tidak akan dapat menyelesaikan msalah banjir di Jakarta? Jelaskan.
- Apa yang menurut penulis perlu diutamakan dalam menanggulangi masalah-masalah seperti polusi dan banjir yang dihadapi oleh Jakarta? Bicarakan.